Dafatar isi
1.
Kata Pengantar..........................................................................................................
2.
Badan Penyelidik Usaha-usaha
Persiapan Kemerdekaan Indonesia
3. Awal persiapan kemerdekaan oleh BPUPKI
4.
Sidang resmi pertama
5.
Masa antara sidang resmi pertama
dan sidang resmi kedua
6.
Sidang resmi kedua
7.
Persiapan kemerdekaan dilanjutkan
oleh PPKI
8.
daftar pustaka............................................................................................................
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas
segala limpahan Rahmat, Inayah, Taufik dan Hinayahnya sehingga saya dapat
menyelesaikan penyusunan makalah ini dalam bentuk maupun isinya yang sangat
sederhana. Semoga makalah ini dapat dipergunakan sebagai salah satu acuan,
petunjuk maupun pedoman bagi pembaca dalam administrasi pendidikan dalam
profesi keguruan.
Harapan saya semoga makalah ini membantu menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, sehingga saya dapat memperbaiki
bentuk maupun isi makalah ini sehingga kedepannya dapat lebih baik.
Makalah ini saya akui masih banyak kekurangan karena
pengalaman yang saya miliki sangat kurang. Oleh kerena itu saya harapkan kepada
para pembaca untuk memberikan masukan-masukan yang bersifat membangun untuk
kesempurnaan makalah ini.
karawang, 14 oktober 2016
TOMI
1.
Badan
Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia
(独立準備調査会 Dokuritsu Junbii Chōsakai?) adalah sebuah badan
yang dibentuk oleh pemerintah pendudukan balatentara Jepang pada tanggal 1 Maret
1945 bertepatan dengan hari ulang tahun Kaisar Hirohito. Badan ini dibentuk
sebagai upaya mendapatkan dukungan dari bangsa Indonesia dengan menjanjikan
bahwa Jepang akan membantu proses
kemerdekaan Indonesia. BPUPKI
beranggotakan 62 orang yang diketuai oleh Dr. Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat dengan wakil ketua Ichibangase Yosio (orang Jepang) dan Raden Pandji Soeroso. Di luar anggota BPUPKI, dibentuk sebuah
Badan Tata Usaha (semacam sekretariat) yang beranggotakan 60 orang. Badan Tata
Usaha ini dipimpin oleh Raden Pandji Soeroso dengan wakil Mr. Abdoel Gafar
Pringgodigdo dan Masuda Toyohiko (orang Jepang). Tugas dari BPUPKI
sendiri adalah mempelajari dan menyelidiki hal-hal yang berkaitan dengan
aspek-aspek politik, ekonomi, tata pemerintahan, dan hal-hal yang diperlukan
dalam usaha pembentukan negara Indonesia merdeka. Pada tanggal 7 Agustus 1945, Jepang membubarkan BPUPKI
dan kemudian membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi
Inkai, dengan anggota berjumlah 21 orang, sebagai upaya untuk mencerminkan
perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia Belanda[1], terdiri dari: 12
orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda Kecil (Nusa Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa.
Kekalahan Jepang dalam perang Pasifik semakin jelas, Perdana Menteri Jepang, Jenderal Kuniaki Koiso, pada tanggal 7 September 1944
mengumumkan bahwa Indonesia akan dimerdekakan kelak, sesudah
tercapai kemenangan akhir dalam perang Asia Timur Raya. Dengan cara itu, Jepang berharap tentara Sekutu akan disambut oleh rakyat Indonesia sebagai penyerbu negara mereka,
sehingga pada tanggal 1 Maret 1945
pimpinan pemerintah pendudukan militer Jepang di Jawa,
Jenderal Kumakichi Harada, mengumumkan dibentuknya suatu badan khusus yang bertugas
menyelididki usaha-usaha persiapan kemerdekaan Indonesia, yang dinamakan "Badan
Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia" (BPUPKI)
atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Cosakai.
Pembentukan BPUPKI juga untuk menyelidiki, mempelajari dan memepersiapakan
hal-hal penting lainnya yang terkait dengan masalah tata pemerintahan guna
mendirikan suatu negara Indonesia merdeka.
BPUPKI resmi dibentuk pada tanggal 1 Maret 1945,
bertepatan dengan ulang tahun kaisar Jepang, Kaisar Hirohito. Dr.
Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat, dari golongan nasionalis tua,
ditunjuk menjadi ketua BPUPKI dengan didampingi oleh dua orang ketua muda
(wakil ketua), yaitu Raden Pandji Soeroso dan Ichibangase Yosio (orang Jepang). Selain menjadi ketua muda, Raden Pandji Soeroso juga diangkat sebagai kepala kantor
tata usaha BPUPKI (semacam sekretariat) dibantu Masuda Toyohiko dan Mr. Abdoel Gafar Pringgodigdo. BPUPKI sendiri beranggotakan 69
orang, yang terdiri dari: 62 orang anggota aktif adalah tokoh utama
pergerakan nasional Indonesia dari semua daerah dan aliran, serta 7
orang anggota istimewa adalah perwakilan pemerintah pendudukan militer Jepang, tetapi wakil dari bangsa Jepang ini tidak mempunyai hak suara (keanggotaan mereka adalah
pasif, yang artinya mereka hanya hadir dalam sidang BPUPKI sebagai pengamat
saja).
Selama BPUPKI berdiri, telah diadakan dua kali masa
persidangan resmi BPUPKI, dan juga adanya pertemuan-pertemuan yang tak resmi
oleh panitia kecil di bawah BPUPKI, yaitu adalah sebagai berikut :
3. SIDANG RESMI
PERTAMA
Pada tanggal 28 Mei 1945,
diadakan upacara pelantikan dan sekaligus seremonial pembukaan masa persidangan
BPUPKI yang pertama di gedung "Chuo Sangi In", yang pada zaman
kolonial Belanda gedung tersebut merupakan gedung Volksraad (dari bahasa Belanda, semacam lembaga "Dewan
Perwakilan Rakyat
Hindia Belanda" pada masa penjajahan Belanda), dan kini gedung itu dikenal dengan sebutan Gedung Pancasila, yang berlokasi di Jalan Pejambon 6 – Jakarta. Namun masa persidangan resminya sendiri (masa persidangan
BPUPKI yang pertama) diadakan selama empat hari dan baru dimulai pada keesokan
harinya, yakni pada tanggal 29 Mei 1945,
dan berlangsung sampai dengan tanggal 1 Juni 1945,
dengan tujuan untuk membahas bentuk negara Indonesia, filsafat negara "Indonesia Merdeka" serta merumuskan dasar negara Indonesia.
Upacara pelantikan dan seremonial pembukaan masa persidangan
BPUPKI yang pertama ini dihadiri oleh seluruh anggota BPUPKI dan juga dua orang
pembesar militer jepang, yaitu: Panglima Tentara Wilayah ke-7, Jenderal Izagaki, yang menguasai Jawa
serta Panglima Tentara Wilayah ke-16, Jenderal Yuichiro Nagano. Namun untuk selanjutnya pada masa persidangan resminya itu
sendiri, yang berlangsung selama empat hari, hanya dihadiri oleh seluruh
anggota BPUPKI.
Sebelumnya agenda sidang diawali dengan membahas pandangan
mengenai bentuk negara Indonesia, yakni disepakati berbentuk "Negara
Kesatuan Republik Indonesia" ("NKRI"),
kemudian agenda sidang dilanjutkan dengan merumuskan konstitusi Negara Kesatuan
Republik Indonesia. Untuk hal ini, BPUPKI harus
merumuskan dasar negara Republik Indonesia terlebih dahulu yang akan menjiwai isi
dari Undang-Undang
Dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia itu sendiri, sebab Undang-Undang
Dasar adalah merupakan
konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Guna mendapatkan rumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, maka agenda
acara dalam masa persidangan BPUPKI yang pertama ini adalah mendengarkan pidato
dari tiga orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, yang mengajukan pendapatnya tentang
dasar negara Republik Indonesia itu adalah sebagai berikut :
1.
Sidang
tanggal 29 Mei 1945,
Mr.
Prof. Mohammad Yamin, S.H.
berpidato mengemukakan gagasan mengenai rumusan lima asas dasar negara Republik Indonesia, yaitu: “1. Peri Kebangsaan; 2.
Peri Kemanusiaan; 3. Peri Ketuhanan; 4. Peri Kerakyatan; dan 5. Kesejahteraan
Rakyat”.
2.
Sidang
tanggal 31 Mei 1945,
Prof. Mr. Dr. Soepomo berpidato mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima prinsip dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Dasar
Negara Indonesia Merdeka", yaitu: “1. Persatuan; 2. Kekeluargaan;
3. Mufakat dan Demokrasi; 4. Musyawarah; dan 5. Keadilan Sosial”.
3.
Sidang
tanggal 1 Juni 1945,
Ir. Soekarno berpidato mengemukakan gagasan
mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia, yang dia namakan "Pancasila", yaitu: “1. Kebangsaan
Indonesia; 2. Internasionalisme dan Peri Kemanusiaan; 3. Mufakat atau
Demokrasi; 4. Kesejahteraan Sosial; dan 5. Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Gagasan mengenai rumusan lima sila dasar negara Republik Indonesia yang dikemukakan oleh Ir. Soekarno tersebut kemudian dikenal dengan
istilah "Pancasila", masih menurut dia bilamana
diperlukan gagasan mengenai rumusan Pancasila ini dapat diperas menjadi "Trisila" (Tiga Sila), yaitu: “1. Sosionasionalisme;
2. Sosiodemokrasi; dan 3. Ketuhanan Yang Berkebudayaan”. Bahkan masih
menurut Ir. Soekarno lagi, Trisila tersebut bila hendak diperas kembali dinamakannya sebagai
"Ekasila" (Satu Sila), yaitu merupakan sila: “Gotong-Royong”,
ini adalah merupakan upaya dari Bung Karno dalam menjelaskan bahwa konsep gagasan
mengenai rumusan dasar negara Republik Indonesia yang dibawakannya tersebut adalah
berada dalam kerangka "satu-kesatuan", yang tak terpisahkan
satu dengan lainnya. Masa persidangan BPUPKI yang pertama ini dikenang dengan
sebutan detik-detik lahirnya Pancasila dan tanggal 1 Juni ditetapkan dan diperingati sebagai hari lahirnya Pancasila.
Pidato dari Ir. Soekarno ini sekaligus mengakhiri masa
persidangan BPUPKI yang pertama, setelah itu BPUPKI mengalami masa reses
persidangan (periode jeda atau istirahat) selama satu bulan lebih. Sebelum
dimulainya masa reses persidangan, dibentuklah suatu panitia kecil yang
beranggotakan 9 orang, yang dinamakan "Panitia Sembilan"
dengan diketuai oleh Ir. Soekarno, yang bertugas untuk mengolah usul
dari konsep para anggota BPUPKI mengenai dasar negara Republik Indonesia.
4.
Masa antara sidang resmi pertama
dan sidang resmi kedua
Naskah
Asli "Piagam Jakarta" atau "Jakarta
Charter"
yang dihasilkan oleh "Panitia Sembilan" pada tanggal 22 Juni 1945
Sampai akhir dari masa persidangan BPUPKI yang pertama,
masih belum ditemukan titik temu kesepakatan dalam perumusan dasar negara Republik Indonesia yang benar-benar tepat, sehingga
dibentuklah "Panitia Sembilan" tersebut di atas guna menggodok
berbagai masukan dari konsep-konsep sebelumnya yang telah dikemukakan oleh para
anggota BPUPKI itu.
Adapun susunan keanggotaan dari "Panitia Sembilan"
ini adalah sebagai berikut :
Sesudah melakukan perundingan yang cukup sulit antara 4
orang dari kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") dan 4 orang dari kaum keagamaan
(pihak "Islam"), maka pada tanggal 22 Juni 1945
"Panitia Sembilan" kembali bertemu dan menghasilkan rumusan
dasar negara Republik Indonesia yang kemudian dikenal sebagai "Piagam
Jakarta"
atau "Jakarta Charter", yang pada waktu itu
disebut-sebut juga sebagai sebuah "Gentlement Agreement". Setelah itu sebagai ketua
"Panitia Sembilan", Ir. Soekarno melaporkan hasil kerja panitia kecil
yang dipimpinnya kepada anggota BPUPKI berupa dokumen rancangan asas dan tujuan
"Indonesia Merdeka" yang disebut dengan "Piagam Jakarta" itu. Menurut dokumen tersebut,
dasar negara Republik Indonesia adalah sebagai berikut :
2.
Kemanusiaan
yang adil dan beradab,
4.
Kerakyatan
yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan,
Rancangan itu diterima untuk selanjutnya dimatangkan dalam
masa persidangan BPUPKI yang kedua, yang diselenggarakan mulai tanggal 10 Juli 1945.
Di antara dua masa persidangan resmi BPUPKI itu, berlangsung
pula persidangan tak resmi yang dihadiri 38 orang anggota BPUPKI. Persidangan
tak resmi ini dipimpin sendiri oleh Bung Karno yang membahas mengenai rancangan
"Pembukaan (bahasa Belanda: "Preambule") Undang-Undang
Dasar
1945", yang kemudian dilanjutkan
pembahasannya pada masa persidangan BPUPKI yang kedua (10 Juli-17 Juli 1945).
5.
Sidang resmi kedua
Masa persidangan BPUPKI yang kedua berlangsung sejak tanggal
10 Juli 1945
hingga tanggal 14 Juli 1945.
Agenda sidang BPUPKI kali ini membahas tentang wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, kewarganegaraan Indonesia, rancangan Undang-Undang
Dasar, ekonomi dan
keuangan, pembelaan negara, serta pendidengajaran. Pada persidangan BPUPKI yang
kedua ini, anggota BPUPKI dibagi-bagi dalam panitia-panitia kecil.
Panitia-panitia kecil yang terbentuk itu antara lain adalah: Panitia Perancang
Undang-Undang
Dasar (diketuai oleh Ir. Soekarno), Panitia Pembelaan Tanah Air
(diketuai oleh Raden
Abikusno Tjokrosoejoso),
dan Panitia Ekonomi dan Keuangan (diketuai oleh Drs. Mohammad Hatta).
Pada tanggal 11 Juli 1945,
sidang panitia Perancang Undang-Undang
Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas pembentukan lagi panitia
kecil di bawahnya, yang tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang
Dasar, yang beranggotakan
7 orang yaitu sebagai berikut :
Pada tanggal 13 Juli 1945,
sidang panitia Perancang Undang-Undang
Dasar, yang diketuai oleh Ir. Soekarno, membahas hasil kerja panitia kecil di
bawahnya, yang tugasnya adalah khusus merancang isi dari Undang-Undang
Dasar, yang beranggotakan
7 orang tersebut.
Pada tanggal 14 Juli 1945,
sidang pleno BPUPKI menerima laporan panitia Perancang Undang-Undang
Dasar, yang dibacakan oleh
ketua panitianya sendiri, Ir. Soekarno. Dalam laporan tersebut membahas
mengenai rancangan Undang-Undang
Dasar yang di dalamnya
tercantum tiga masalah pokok yaitu :
3.
Batang
tubuh Undang-Undang
Dasar yang kemudian
dinamakan sebagai "Undang-Undang
Dasar
1945", yang isinya meliputi :
·
Wilayah
negara Indonesia adalah sama dengan bekas wilayah Hindia
Belanda
dahulu, ditambah dengan Malaya, Borneo Utara (sekarang adalah wilayah Sabah
dan wilayah Serawak di negara Malaysia, serta wilayah negara Brunei Darussalam), Papua,
Timor-Portugis (sekarang adalah wilayah negara Timor Leste), dan pulau-pulau di sekitarnya,
Konsep proklamasi kemerdekaan negara Indonesia baru rencananya akan disusun dengan
mengambil tiga alenia pertama "Piagam Jakarta", sedangkan konsep Undang-Undang
Dasar hampir seluruhnya
diambil dari alinea keempat "Piagam Jakarta". Sementara itu, perdebatan terus
berlanjut di antara peserta sidang BPUPKI mengenai penerapan aturan Islam, Syariat Islam, dalam negara Indonesia baru. "Piagam Jakarta" atau "Jakarta
Charter"
pada akhirnya disetujui dengan urutan dan redaksion yang sedikit berbeda.
6.
Persiapan kemerdekaan dilanjutkan
oleh PPKI
Pada tanggal 7 Agustus 1945,
BPUPKI dibubarkan karena dianggap telah dapat menyelesaikan tugasnya dengan
baik, yaitu menyusun rancangan Undang-Undang
Dasar bagi negara Indonesia Merdeka, dan digantikan dengan dibentuknya "Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia" ("PPKI")
atau dalam bahasa Jepang: Dokuritsu Junbi Inkai dengan Ir. Soekarno sebagai ketuanya.
Tugas "PPKI"
ini yang pertama adalah meresmikan pembukaan (bahasa Belanda: preambule) serta batang tubuh Undang-Undang
Dasar 1945. Tugasnya yang kedua adalah melanjutkan hasil kerja BPUPKI,
mempersiapkan pemindahan kekuasaan dari pihak pemerintah pendudukan militer Jepang kepada bangsa Indonesia, dan mempersiapkan segala sesuatu yang
menyangkut masalah ketatanegaraan bagi negara Indonesia baru.
Anggota "PPKI"
sendiri terdiri dari 21 orang tokoh utama pergerakan nasional Indonesia, sebagai upaya untuk mencerminkan
perwakilan dari berbagai etnis di wilayah Hindia Belanda, terdiri dari: 12 orang asal Jawa, 3 orang asal Sumatera, 2 orang asal Sulawesi, 1 orang asal Kalimantan, 1 orang asal Sunda
Kecil (Nusa
Tenggara), 1 orang asal Maluku, 1 orang asal etnis Tionghoa. "PPKI"
ini diketuai oleh Ir. Soekarno, dan sebagai wakilnya adalah Drs.
Mohammad Hatta,
sedangkan sebagai penasihatnya ditunjuk Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo. Kemudian, anggota "PPKI"
ditambah lagi sebanyak enam orang, yaitu: Wiranatakoesoema, Ki
Hadjar Dewantara,
Mr.
Kasman Singodimedjo,
Mohamad
Ibnu Sayuti Melik,
Iwa
Koesoemasoemantri,
dan Mr. Raden Achmad Soebardjo Djojoadisoerjo.
Secara simbolik "PPKI"
dilantik oleh Jendral Terauchi, pada tanggal 9 Agustus 1945,
dengan mendatangkan Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta dan Dr.
Kanjeng Raden Tumenggung (K.R.T.) Radjiman Wedyodiningrat ke "Kota
Ho Chi Minh"
atau dalam bahasa Vietnam: Thành
phố Hồ Chí Minh
(dahulu bernama: Saigon), adalah kota
terbesar di negara Vietnam dan terletak dekat delta Sungai Mekong.
Pada saat "PPKI"
terbentuk, keinginan rakyat Indonesia untuk merdeka semakin memuncak.
Memuncaknya keinginan itu terbukti dengan adanya tekad yang bulat dari semua
golongan untuk segera memproklamasikan kemerdekaan negara Indonesia. Golongan muda kala itu menghendaki
agar kemerdekaan diproklamasikan tanpa kerjasama dengan pihak pemerintah
pendudukan militer Jepang sama sekali, termasuk proklamasi kemerdekaan dalam sidang
"PPKI".
Pada saat itu ada anggapan dari golongan muda bahwa "PPKI"
ini adalah hanya merupakan sebuah badan bentukan pihak pemerintah pendudukan
militer Jepang. Di lain pihak "PPKI"
adalah sebuah badan yang ada waktu itu guna mempersiapkan hal-hal yang perlu
bagi terbentuknya suatu negara Indonesia baru.
Tetapi cepat atau lambatnya kemerdekaan Indonesia bisa diberikan oleh pemerintah
pendudukan militer Jepang adalah tergantung kepada sejauh mana semua hasil kerja dari
"PPKI".
Jendral Terauchi kemudian akhirnya menyampaikan keputusan pemerintah
pendudukan militer Jepang bahwa kemerdekaan Indonesia akan diberikan pada tanggal 24 Agustus 1945.
Seluruh persiapan pelaksanaan kemerdekaan Indonesia diserahkan sepenuhnya kepada "PPKI".
Dalam suasana mendapat tekanan atau beban berat seperti demikian itulah "PPKI"
harus bekerja keras guna meyakinkan dan mewujud-nyatakan keinginan atau
cita-cita luhur seluruh rakyat Indonesia, yang sangat haus dan rindu akan
sebuah kehidupan kebangsaan yang bebas, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil
dan makmur.
Ir. Soekarno membacakan naskah Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia yang sudah diketik oleh Mohamad
Ibnu Sayuti Melik
dan telah ditandatangani oleh Soekarno-Hatta
Sementara itu dalam sidang "PPKI"
pada tanggal 18 Agustus 1945,
dalam hitungan kurang dari 15 menit telah terjadi kesepakatan dan kompromi atas
lobi-lobi politik dari pihak kaum keagamaan yang beragama non-Muslim
serta pihak kaum keagamaan yang menganut ajaran kebatinan, yang kemudian
diikuti oleh pihak kaum kebangsaan (pihak "Nasionalis") guna melunakkan hati pihak
tokoh-tokoh kaum keagamaan yang beragama Islam guna dihapuskannya "tujuh
kata" dalam "Piagam Jakarta" atau "Jakarta
Charter".
Setelah itu Drs. Mohammad Hatta masuk ke dalam ruang sidang "PPKI"
dan membacakan empat perubahan dari hasil kesepakatan dan kompromi atas
lobi-lobi politik tersebut. Hasil perubahan yang kemudian disepakati sebagai
"pembukaan (bahasa Belanda: "preambule") dan batang tubuh Undang-Undang
Dasar
1945", yang saat ini biasa disebut
dengan hanya UUD '45
adalah :
·
Pertama, kata “Mukaddimah” yang berasal
dari bahasa Arab, muqaddimah, diganti dengan kata “Pembukaan”.
·
Kedua, anak kalimat "Piagam
Jakarta"
yang menjadi pembukaan Undang-Undang
Dasar
1945, diganti dengan, “Negara berdasar
atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
·
Ketiga, kalimat yang menyebutkan “Presiden
ialah orang Indonesia asli dan beragama Islam”, seperti tertulis dalam pasal
6 ayat 1, diganti dengan mencoret kata-kata “dan beragama Islam”.
·
Keempat, terkait perubahan poin Kedua,
maka pasal 29 ayat 1 dari yang semula berbunyi: “Negara berdasarkan
atas Ketuhananan, dengan kewajiban menjalankan Syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diganti menjadi berbunyi: “Negara
berdasarkan atas Ketuhanan Yang Maha Esa”.
"PPKI"
sangat berperan dalam penataan awal negara Indonesia baru. Walaupun kelompok muda kala itu
hanya menganggap "PPKI"
sebagai sebuah lembaga buatan pihak pemerintah pendudukan militer Jepang, namun terlepas dari anggapan tersebut, peran serta jasa
badan ini sama sekali tak boleh kita remehkan dan abaikan, apalagi kita
lupakan. Anggota "PPKI"
telah menjalankan tugas yang diembankan kepada mereka dengan sebaik-baiknya,
hingga pada akhirnya "PPKI"
dapat meletakkan dasar-dasar ketatanegaraan yang kuat bagi negara Indonesia yang saat itu baru saja berdiri.
7. daftar pustaka
^ Pasca proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 PPKI berfungsi
dan berperan secara ex officio:
i.
Sebagai
representasi perwakilan seluruh rakyat Indonesia
ii.
Sebagai
lembaga resmi yang mempunyai kewenangan untuk mengesahkan UUD Negara
iii.
Sebagai
lembaga yang dapat memilih dan mengangkat presiden dan wakil presiden
iv.
Sebagai
lembaga pendiri negara Republik Indonesia
v.
Sebagai
lembaga tertinggi dalam Negara Republik Indonesia.
Lihat:
vi.
Yunarti,
Dorothea Rini (2003). BPUPKI, PPKI, proklamasi kemerdekaan RI.
University of Michigan Press. ISBN 9797090779, 9789797090777 Check |isbn= value (bantuan).
vii.
Amini,
Aisyah (2004). Pasang surut peran DPR-MPR, 1945-2004. University of
Michigan Press. ISBN 9799825245, 9789799825247 Check |isbn= value (bantuan)